Kantor Badan Pemeriksa Keuangan (detikcom) |
JAKARTA (Kliik.id) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap ada 4 risiko di balik program penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PCPEN) senilai Rp 744,77 triliun.
Anggota BPK II Pius Lustrilanang menjelaskan yang pertama adalah risiko strategis, yaitu tidak tercapainya tujuan kebijakan penanganan pandemi COVID-19 di masa pandemi dan pasca pandemi, serta pengawasan yang belum sepenuhnya optimal.
"Yang kedua risiko operasional, meliputi antara lain ketidakselarasan regulasi; ketidaksiapan program baik dari aspek regulasi maupun validitas dan keandalan data; kurangnya koordinasi antara entitas pemerintahan; serta ketidaktepatan sasaran, jumlah, kualitas, dan waktu penyaluran kepada penerima manfaat," katanya dalam webinar yang tayang di saluran YouTube Kementerian Keuangan, Kamis (21/10/2021).
Ketiga, risiko ketidakpatuhan dan kecurangan yang meliputi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam kondisi kahar, serta kecurangan, penyalahgunaan wewenang, dan moral hazard.
Kemudian yang keempat adalah risiko keuangan meliputi kualitas pelaporan keuangan, serta transparansi fiskal dan kesinambungan fiskal termasuk ketergantungan pada sumber pembiayaan eksternal.
"Pelaksanaan program PCPEN tahun 2021 mengandung beberapa risiko yang perlu sama-sama di mitigasi," ujarnya.
Dalam rangka memitigasi risiko-risiko tersebut, sekaligus menindaklanjuti beberapa rekomendasi hasil pemeriksaan BPK terkait program PCPEN tahun 2020, Pius menjelaskan pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal.
Hal yang harus diperhatikan pemerintah, pertama adalah dukungan data yang valid untuk masing-masing program. Kedua, pengawasan yang intensif mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai pertanggungjawaban program. Ketiga, peraturan pelaksanaan yang lengkap, jelas dan selaras.
"Yang keempat koordinasi dan komunikasi yang efektif antar pemangku kepentingan," sebutnya.
Selain itu, untuk melengkapi hal-hal tersebut, BPK juga menyarankan pemerintah untuk segera melakukan beberapa hal strategis, yakni sinkronisasi dan integrasi sistem perencanaan, penganggaran, perbendaharaan, pelaporan keuangan pemerintah, dan pelaporan kinerja pemerintah untuk meningkatkan kualitas tanggung jawaban pemerintah atas pelaksanaan APBN.
"Dan yang kedua percepatan pembangunan pusat data nasional dan konsolidasi Satu Data Indonesia untuk mendukung setiap kebijakan pemerintah agar lebih tepat sasaran," tambahnya. (Detik)