Notification

×

Kebijakan Ethanol Dalam BBM Dapat Memperparah Konflik Agraria dan Deforestasi

Minggu, 12 Oktober 2025 | 09:01 WIB Last Updated 2025-10-12T04:39:58Z

 

Ilustrasi Ethanol BBM

JAKARTA (Kliik.Id) - Pemerintah berencana meningkatkan campuran etanol dalam bensin hingga 10% (E10) dalam waktu tiga tahun mendatang. Namun, para aktivis lingkungan memperingatkan agar bahan baku etanol tidak diproduksi dengan cara menebang hutan atau memicu konflik dengan masyarakat adat.

 

Mandat E10 diharapkan mendorong pertumbuhan industri etanol di Indonesia. Hal ini berarti akan terjadi perluasan lahan untuk perkebunan tebu atau tanaman lainnya. Salah satu daerah yang menjadi prioritas dalam proyek swasembada gula dan bioetanol adalah Merauke, di kabupaten Papua Selatan.


Saat ini, masyarakat adat di daerah tersebut sedang mengalami konflik dengan perusahaan. Perdebatan terkait etanol kembali mencuat setelah sejumlah SPBU swasta memutuskan untuk tidak membeli bahan bakar mentah (base fuel) dari Pertamina. Alasannya, base fuel tersebut sudah mengandung etanol sebanyak 3,5%.

 

Etanol adalah bahan yang dicampurkan ke bahan bakar minyak (BBM) untuk meningkatkan oktan (RON) dan ramah lingkungan. Namun masalah utama saat ini bukan pada etanol itu sendiri, melainkan pada proses pencampurannya.

 

Campuran etanol ke bensin

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto setuju dengan kebijakan wajib mencampurkan etanol sebanyak 10% (E10) ke dalam bensin. "Kita akan mendorong penggunaan E10. Kemarin malam kami rapat dengan Bapak Presiden, dan Pak Presiden sudah menyetujui rencana wajib 10% etanol," katanya, Selasa (08/10).


Saat ini, etanol dicampurkan ke dalam bensin dalam produk Pertamax Green 95 dengan kadar 5% (E5), mulai Juli 2023. Namun, pencampurannya masih dalam bentuk opsional, bukan wajib. Bahlil menjelaskan, kebijakan wajib E10 bertujuan untuk mengurangi impor bahan bakar dan memproduksi bahan bakar yang lebih bersih serta ramah lingkungan.


Ia juga menjelaskan bahwa penggunaan etanol dari bahan nabati seperti singkong, tebu, jagung, dan sorgum merupakan upaya pemerintah untuk mencapai kemandirian energi. Namun, pengembangan E10 membutuhkan waktu. "E10 masih dalam pembahasan, kita akan uji coba dulu. Setelah dinyatakan aman dan baik, baru kita jalankan. Perlu waktu 2-3 tahun dari sekarang. Jadi kita harus merencanakan dengan tepat," katanya.

 

Pemerintah juga sedang menyiapkan lahan untuk peningkatan produksi tanaman penghasil bahan baku etanol. Setelah itu, akan dibangun pabrik. Bahlil menjelaskan, akan ada dua pabrik etanol yang dibangun, yaitu menggunakan bahan baku singkong dan tebu. "Tebu kemungkinan besar berada di Merauke, sedangkan singkong sedang dipetakan," kata Bahlil.


Arah kebijakan bioetanol

Kebijakan etanol sebagai bahan campuran bensin ini tidak muncul tiba-tiba. Proyek swasembada gula dan penyediaan bioetanol telah direncanakan sejak pemerintahan Joko Widodo. Pada 2023, Jokowi menandatangani Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel). Sebulan setelah aturan ini ditandatangani, Jokowi menanam tebu pertama di Merauke.


"Dan pemerintahan Pak Prabowo akan fokus pada pangan dan energi. Di sini (Merauke) ada tempatnya," ujar Jokowi saat itu.

 

Satu tahun kemudian, aturan ini dikuatkan dengan pembentukan Satgas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol. Lokasi penanaman tebu ditetapkan di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Pemerintah menargetkan satu juta hektare lahan akan dikembangkan menjadi perkebunan tebu, bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

 

Sebanyak 600.000 hektare lahan sudah dialokasikan dan akan dikelola oleh sembilan perusahaan perkebunan tebu. Luas lahan ini hampir setara dengan Pulau Bali. Sebagian besar wilayah Merauke dihuni oleh suku-suku adat seperti Willermark dan Islind. Wilayah perkebunan tebu ini meliputi Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin, dan Muting. Dalam waktu dekat, pemerintah menargetkan produksi gula di Merauke mencapai tiga juta ton per tahun mulai 2027. Pada tahun yang sama, perkebunan tebu ini akan terhubung dengan pabrik bioetanol yang memiliki kapasitas produksi 300.000 kiloliter per tahun.

 

Proyek ethanol berkaitan dengan isu deforestasi dan konflik agraria

Karena perkebunan tebu yang sedang dibangun di Merauke menghadapi permasalahan dengan masyarakat adat. Konflik terkini terjadi pada pertengahan September lalu, ketika perusahaan perkebunan tebu diduga menggarap lahan adat milik marga Kwipalo. Perusahaan tersebut rencananya akan membuat jalan akses untuk perkebunan.

 

Marga Kwipalo merespons dengan menghentikan mesin berat seperti eksavator dan buldoser. Vincen, seorang tokoh adat, mengatakan, "Kami manusia, kau lihat. Kau punya tangan, kami juga punya tangan." Adegan ini tayang di media sosial Pusaka Bentala Rakyat. Vincen Kwipalo, selaku tokoh adat, bersama kuasa hukumnya, memberikan somasi atau teguran ke perusahaan terkait dugaan penyerobotan lahan adat suku Yei.

 

Pada 6 Oktober, keluarga Vincen mengalami serangan dari sekelompok orang yang menggunakan senjata seperti panah, parang, kapak, dan senapan angin. Mereka juga mengancam untuk membongkar dan membakar bangunan serta membunuh. Vincen mengatakan kepada BBC News Indonesia, "Mereka berteriak, 'bongkar rumah, bakar rumah, bunuh orangnya'."

 

Ini bukan pertama kalinya tokoh yang menolak perkebunan tebu dalam skema PSN Merauke mengalami ancaman. Seorang warga lokal di Merauke terpaksa melepaskan sebagian tanah adatnya kepada perusahaan dengan harga Rp300.000 per hektare. Ia mengatakan, "Karena kita juga berpikir jangan sampai ada hal-hal buruk yang terjadi pada keluarga kita."

 

Organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan proyek swasembada gula dan bioetanol di Merauke menyebabkan konflik agraria dan juga merusak hutan. Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arga Siagian, menyebutkan hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati akan memperparah kondisi lingkungan. "Satu, banjir dan longsor akan semakin kerap terjadi, dan yang kedua, dalam konteks yang lebih besar, ini akan berkontribusi pada pelepasan emisi yang sangat besar dan kemudian membuat situasi iklim kita semakin kritis," ujarnya.

 

Uli menambahkan, kebijakan 10% etanol dalam bensin dengan alasan energi bersih justru kontradiktif karena cara mendapatkannya justru merusak ekosistem dan merampas tanah masyarakat. "Sebenarnya dia juga kotor karena dia merusak ekosistem, dia merampas tanah atau wilayah milik masyarakat," tuturnya.

 

Akar Masalah

Kepala bidang kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benni Wijaya belum melihat tindakan nyata dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Hal ini membuat Benni percaya proyek bioetanol di Merauke akan mengikuti jejak proyek energi ramah lingkungan lainnya yang juga banyak masalah.

 

Berdasarkan pantauan KPA, proyek seperti biomassa dan nikel, yang digunakan untuk baterai, sudah beroperasi namun masih menghadapi konflik lahan. "Di lapangan, industri tetap menggunakan cara lama. Tidak ada perubahan. Pasti merampas tanah warga, pasti merusak lingkungan," ujarnya.

 

Letusan Konflik Agraria Tahun 2020-2025 (Foto: KPA)

Hasil pemantauan dan analisis KPA menunjukkan industri nikel tidak jauh berbeda dari industri tambang lainnya. Industri ini juga diduga memicu penggusuran, merusak lingkungan, dan memperkuat praktik perbudakan di dalamnya. KPA melaporkan pada 2024 terjadi 41 kasus konflik agraria di sektor pertambangan, 11 di antaranya terkait industri nikel.

 

Konflik terjadi di antaranya di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Sebanyak 32 warga desa dikriminalisasi perusahaan dengan tuduhan menghalangi aktivitas tambang. Di Morowali, Sulawesi Tengah, terjadi konflik antara buruh lokal dan TKA serta lainnya.


Sementara itu, di Kabupaten Buru, Maluku, wilayah masyarakat adat yang memiliki 62 sertifikat komunal dicaplok perusahaan untuk proyek energi biomassa yang sudah berlangsung sejak 2022. Akar masalah konflik agraria yang terus berlangsung, menurut Benni, karena tidak ada pengakuan hukum terhadap kepemilikan tanah masyarakat adat.

 

Ketika proyek datang, masyarakat adat dengan mudah disingkirkan. "Tidak pernah diakui hak atas tanah masyarakat yang sudah bermukim selama 90 tahun, menggarap tanah yang seharusnya dia jadi pemiliknya," katanya.

 

KPA melaporkan adanya peningkatan konflik agraria dalam lima tahun terakhir. Dalam data 2024, konflik agraria tercatat mencapai 295 kasus, naik 21% dibandingkan tahun sebelumnya.

 

Tanam paksa model baru

Benni juga melihat program ketahanan energi berbasis pada nabati ini akan mengubah pola pertanian masyarakat. Perkebunan akan dibuka dengan jenis-jenis tertentu. "Itu menghancurkan keragaman pangan-pangan lokal, menggantikannya dengan pangan-pangan yang memang bernilai tinggi secara industri," katanya.


Lahan, hutan, rawa dan sungai yang semula menjadi sumber penghidupan masyarakat adat, perlahan hilang, lanjut Uli. "Pemerintah membangun sebuah proyek pangan besar yang melibatkan korporasi, lalu mengusur tanaman-tanaman masyarakat, dan masyarakat disuruh masuk menjadi pekerja di dalamnya. Nah, ini kan yang kita katakan sebagai sistem tanam paksa model baru," tambahnya.

 

Rencana pabrik bioetanol hanya satu bagian dari PSN di Merauke. Lainnya, adalah cetak sawah dan perkebunan tanaman adaptif. PSN Merauke rencananya akan menggunakan lebih dari dua juta hektare lahan, yang terdiri atas lima klaster dan tersebar di 13 distrik. PSN Merauke juga melibatkan banyak tentara yang dirasakan warga sebagai "teror". Namun, pihak militer menyebut pengerahan personil pada proyek ini sebatas "untuk membantu membuka lahan pertanian".


Pemerintah menjadikan Papua Selatan sebagai salah satu Kawasan Swasembada Pangan, Energi dan Air Nasional—program utama pemerintahan Prabowo-Gibran. Wilayah lain yang ditetapkan sebagai kawasan serupa adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Selatan.

 

Bagaimana industri menyambut E10?

Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO) mencatat saat ini ada sekitar 13 pabrik pengolahan etanol di Indonesia yang beroperasi. Mereka terintegrasi dengan perkebunan tebu seluas 500.000 hektare yang tersebar di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Kebanyakan produksi etanol ini disalurkan pada sektor non-energi.


"Itu semua existing, itu sebenarnya bukan dari daerah hutan yang kita tebangin, bukan. Itu sudah ada dari zaman Belanda dulu. Dengan total giling tebu sekitar 35 juta ton," kata Ketua Umum APSENDO, Izmirta Rachman.


Ia mengatakan, pabrik yang sudah ada ini siap dan akan mendukung kebijakan E10. "Karena multiplier effect ekonomi maupun multiplier effect terhadap pengurangan impor fosil maupun multiplier effect terhadap penurunan emisi itu sangat menguntungkan negara kita," katanya.

 

Untuk menambah kapasitas produksi tebu mengejar mandatori E10, Izmirta tak menampik industri akan membutuhkan bukaan lahan dan mendirikan pabrik baru. Saat ditanya bagaimana industri memastikan hal itu tidak berdampak pada hutan dan lahan masyarakat adat, ia menyerahkan hal ini kepada pemerintah.


"Itu adalah koridornya dari kementerian terkait, bagaimana memastikan semua lahan tebu itu perizinannya legal, konversinya benar-benar bukan hutan lindung. Makanya saya katakan enggak bisa satu sektor saja," katanya.


Industri etanol yang sudah berjalan saat ini, kata Izmirta, akan ikut dengan regulasi pemerintah. Silakan nanti molasenya [bahan baku etanol], kalau ada sertifikasi silakan. Molasenya memang berasal dari tanaman tebu yang ditanam bukan di areal deforestasi, tambahnya.

 

Kapasitas etanol yang dimiliki saat ini

Industri etanol yang sudah beroperasi memiliki produksi siap pakai sebagai campuran bensin sebesar 60.000 kiloliter (kl) per tahun. Kapasitasnya bisa ditingkatkan hingga 330.000 kl, kata Izmirta.

 

Pada tahun 2024, konsumsi Pertalite (bensin subsidi) di Indonesia diperkirakan mencapai 29,7 juta kl, sedangkan konsumsi bensin non-subsidi yang diestimasi oleh APSENDO mencapai 8 juta kl. Dengan asumsi angka konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan ketersediaan etanol di Indonesia, maka untuk memenuhi E10 (pada bensin subsidi dan non-subsidi), dibutuhkan setidaknya etanol 3,8 juta kl per tahun. Dengan jumlah ini, diperlukan perluasan lahan perkebunan tebu hingga jutaan hektare.

 

Namun, APSENDO mengklaim dari pabrik yang sudah ada, mampu memenuhi produksi etanol 5% (E5) pada bensin non-subsidi sebagai langkah awal. Jumlahnya bisa ditingkatkan sekitar 400.000 kl. Kata dia, kalangan industri pasti akan merevitalisasi produknya ke arah itu asalkan program ini serius dan mendapat dukungan dari pemerintah.


"Yang tadinya tidak tertarik sama fuel grade [etanol yang memenuhi persyaratan sebagai campuran bahan bakar], kemudian dengan melihat program ini berjalan, mereka akan menambah destilasi kolom, sehingga bisa memurnikan dan menaikkan kadar etil alkoholnya menjadi 99,9%," jelas Izmirta.

 

Ia menambahkan, revitalisasi produk etanol agar bisa dicampur dengan bensin ini tidak memerlukan "teknologi yang canggih, tapi bisa investasi yang tidak terlalu besar". Tapi, menurut Izmirta, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar industri etanol bisa ikut terlibat dalam kebijakan E10.


Pertama, harga etanol lebih tinggi dari harga bahan bakar dasar (base fuel). Dengan demikian, mencampur etanol dengan base fuel akan membuat harga jual bensinnya lebih tinggi. Pihak industri, menurutnya, menginginkan adanya insentif agar harganya tetap terjangkau.

 

"Kedua, ketersediaan bahan baku, bagaimana mengatur tata niaga molase agar diprioritaskan untuk kepentingan hilirisasi dan blending mandatori ini. Dan ketiga, bagaimana segera melakukan percepatan pertumbuhan swasembada gula dan pencapaian perluasan area tanam dan produktivitas," tambah Izmirta.


Selain itu, ia juga melihat adanya potensi pengolahan etanol dari molase sebesar 1,6 juta ton per tahun. Jika diolah, molase ini bisa menghasilkan 400.000 kl etanol.

 

Respons pemerintah

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) di Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menyatakan bahan bakar etanol yang wajib dicampurkan dalam bensin E10 harus berasal dari dalam negeri.

 

"Menurut Perpres Nomor 40 Tahun 2023, itu merupakan bagian dari swasembada gula dan bioetanol. Jadi, semakin banyak produksi gula, semakin banyak pula bioetanol, karena bioetanol dibuat dari ampas tebu yang disebut molase," terangnya.


Untuk mewujudkan swasembada pangan, pemerintah juga mengejar produksi bioetanol. Di masa depan, akan ada beberapa wilayah di Indonesia yang dikembangkan secara terpadu. Contohnya, Lampung dengan ketela, Gorontalo dengan jagung, dan sagu di wilayah Indonesia timur, kata Eniya.

 

"Jadi semua daerah didorong untuk menghasilkan bioetanol. Tapi ini tidak langsung melalui pangan, karena yang digunakan adalah ampasnya," tambahnya. Saat ditanya apakah pemerintah akan memastikan bahan baku bioetanol berasal dari lahan yang tidak terlibat deforestasi dan konflik, Eniya menjawab, "Lahan tidak ada hubungannya dengan isu clean and sustainable."

 

Mengenai isu konflik PSN di Merauke, Menteri HAM, Natalius Pigai, menjelaskan, "Kami sedang berupaya mendorong pembangunan dan pengelolaan usaha yang berlandaskan HAM melalui berbagai kebijakan dan regulasi."

 

Upaya yang dilakukan, kata Natalius, antara lain dengan menyiapkan instrumen hukum terkait bisnis dan HAM dalam bentuk Perpres, Inpres, Permen, dan petunjuk teknis serta pelaksanaannya.


Etanol dan dampaknya jika dicampur dalam bensin

Etanol adalah alkohol murni yang bahan dasarnya berasal dari fermentasi molase. Di negara-negara yang surplus tebu, biasanya menggunakan nira tebu (sugarcane juice). Molase yang dikenal sebagai tetes tebu, merupakan hasil sampingan dari proses pengolahan tebu menjadi gula. Selama proses pembuatan gula dari tebu, molase tetap berbentuk cair, tidak bisa mengkristal saat gula dimasak.


Cairan berwarna cokelat hingga hitam ini dianggap sebagai limbah. Etanol hasil fermentasi nabati memiliki kadar oktan yang bisa lebih dari 110. Jika dicampur dalam bensin, ia bisa meningkatkan nilai RON bensin tersebut.

 

Berikut beberapa riset terkait efek penggunaan campuran etanol pada bensin:

- Meningkatkan oktan dan kualitas pembakaran

- Mengurangi impor bahan bakar

- Meningkatkan kualitas udara karena etanol bisa mengurangi emisi karbon

- Kandungan energi lebih rendah, sehingga dibutuhkan lebih banyak bahan bakar

- Mengakibatkan kendala teknis pada mesin karena etanol bisa menyerap air. Di mesin lama, perlu penyesuaian suku cadang

- Memengaruhi biaya karena harga etanol lebih tinggi dari bahan bakar dasar. Namun, hal ini sangat bergantung pada kebijakan subsidi

- Memerlukan perluasan lahan.


Jika lahan terganti dari hutan dan gambut, justru menyebabkan emisi besar dan hilangnya keanekaragaman hayati. Perluasan lahan juga berpotensi menyebabkan konflik agraria dengan masyarakat.

 

Mengapa industri di Indonesia lebih sering menggunakan molase sebagai bahan dasar etanol?

"Karena molase itu berisi gula sederhana, yaitu sukrosa. Gula itu bisa langsung difermentasi," kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Spiritus dan Etanol Indonesia (APSENDO), Izmirta Rachman. Menurut Izmirta, bahan nabati lain seperti jagung dan singkong memerlukan proses pemecahan terlebih dahulu sebelum difermentasi. "Dia perlu pre-treatment," ujarnya.

 

"Bukan soal etanol, tapi kualitasnya," kata Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin. Ia mengatakan lembaganya telah mendorong penggunaan campuran etanol sejak isu bensin bertimbal diperbincangkan. Pada tahun 2003, Indonesia telah bebas dari bensin bertimbal.


Menurutnya, etanol bisa meningkatkan efisiensi pembakaran di mesin kendaraan, sehingga bisa menghemat energi dan mengurangi gas buang, termasuk emisi udara dan gas rumah kaca. "Tahun 2001 kami sudah mengusulkan menggunakan etanol karena etanol memiliki oktan number tinggi antara 110 sampai 130.


Jadi sangat efektif sebagai pembangkit oktan," kata Puput, sapaan Ahmad Safrudin.


Yang ia soroti sekarang adalah proses pencampuran etanol. Menurutnya, Pertamina seharusnya membeli bahan bakar dasar yang belum dicampur etanol dari awal. "Etanol yang ada di bahan bakar dasar membuat sifat fisika dan kimia bahan dasar ini tidak jelas sebagai bahan utama produksi bahan bakar berspesifikasi," ujarnya.

 

Selain itu, karena etanol bisa menyerap air, proses distribusi yang panjang akan memengaruhi kualitas bensin sebelum dicampur dengan bahan lainnya dan diberikan ke konsumen. Air yang diserap bisa berasal dari laut, embun, atau hujan. "Sehingga oktan bensin turun, dan kualitasnya juga menurun," jelasnya.


Ia menambahkan hal ini akan meningkatkan biaya operasional bagi SPBU, terutama yang swasta. "Jadi pencampuran etanol seharusnya dilakukan di akhir, setelah bensin siap dikirim ke SPBU."

 

Kebijakan menggabungkan etanol dalam bensin telah menjadi tren di dunia. Banyak negara sudah menerapkan campuran etanol, bahkan menargetkan mencapai E30. Ahmad Safrudin mendukung kebijakan ini di Indonesia, tetapi menekankan kualitas bahan bakar harus tetap dijaga dengan membeli bahan bakar dasar yang belum tertambang etanol.

 

Selain itu, ia juga menekankan bahwa bahan baku etanol harus berasal dari lahan yang bersih, tidak ada deforestasi dan konflik dengan masyarakat. "Kalau ingin serius, gunakan saja lahan terlantar di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, jangan ambil lahan yang masih hutan alam," katanya.

 

Menurut Uli Arga Siagian, Willermark dan Islind, serta Kebun Walhi, penting bagi pemerintah untuk mengendalikan cara masyarakat menggunakan bahan bakar minyak secara nasional. Caranya adalah dengan membuat kebijakan yang mendorong masyarakat beralih menggunakan transportasi umum. "Jadi, tidak ada artinya kita ingin mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, bioetanol, atau biodiesel, jika membeli kendaraan pribadi tetap mudah dilakukan, sementara fasilitas transportasi umum masih belum membaik," ujarnya. (bbc)

×
Berita Terbaru Update