Masyarakat menggelar upacara bendera Hari Sumpah Pemuda di lahannya yang diserobot, Kamis (28/10/2021). |
ASAHAN (Kliik.id) - Masyarakat petani sawit di Desa Perbangunan, Kecamatan Sei Kepayang, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, harus kehilangan mata pencaharian sejak tahun 2015.
Lahan sawit milik masyarakat diserobot oleh sekelompok diduga 'Mafia Tanah' yang sesuka hati memanen, mengintimidasi dan merampas hasil tani. Kejadian tersebut berlangsung hingga sekarang.
Sudah berjalan 6 tahun, masyarakat tidak dapat memanen hasil tani di lahannya sendiri. Akibatnya, banyak masyarakat kini merasakan susahnya kehidupan, bahkan ada yang anaknya putus sekolah.
Para penyerobot lahan berkedok Koperasi Tani Mandiri yang saat ini dipimpin Wahyudi. Mereka memaksa untuk memanen di lahan milik masyarakat dengan membawa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) berdasarkan Surat Keputusan (SK) 438 Tahun 2010 yang diterbitkan Bupati Asahan.
Sementara, masyarakat memiliki dan mengusahai lahan tersebut sejak 1978 dengan dasar SK 44 yang diterbitkan oleh Bupati Asahan saat itu, Abdul Manan Simatupang.
Puluhan tahun lahan diusahai masyarakat secara turun menurun hingga kini menjadi lahan sawit. Namun, kelompok Wahyudi cs seenaknya menyerobot, padahal SK 44 Tahun 1978 belum dicabut.
Bagaimana awal munculnya Koperasi Tani Mandiri kuasai lahan?
Perwakilan masyarakat, Budiman Nainggolan, menceritakan, awalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada masa pemerintahan SBY menerbitkan SK 163 MENHUT II Tahun 2008.
Pada awalnya, kelompok Koperasi Tani Mandiri mengaku sebagai pemegang IUP-HHK. Akan tetapi, tahun 2007 izin koperasinya sudah tidak berlaku. Dalam keadaan izinnya mati, Koperasi Tani Mandiri mengajukan permohonan IUPHHK-HTR kepada Bupati Asahan.
"Pada masa itu, pemerintah menerbitkan program HTR Nasional ke setiap provinsi, bahkan ke tingkat kabupaten. SK 163 MENHUT II 2008 yang diberikan ke Kabupaten Asahan bersifat pencadangan dan arahan, tetapi tidak menentukan lokasi," ujar Budiman saat dihubungi Kliik.id, Senin (1/11/2021).
Kemudian, Pemkab Asahan mengarahkan langsung ke kelompok Koperasi Tani Mandiri untuk mengajukan permohonan ulang izin HTR.
"Hal itu terindikasi digiring tanpa menseleksi beberapa kelompok tani yang layak dijadikan areal HTR. Dibuktikan dengan izin Koperasi Tani Mandiri yang sudah mati diloloskan dan tidak ada kelompok lain sebagai pesaing pemohon izin HTR," jelasnya.
Lalu, Pemkab Asahan mengusulkan lokasi areal pencadangan HTR di Desa Perbangunan dan Koperasi Tani Mandiri sebagai pemohon.
Selanjutnya, kata Budiman, Kantor Wilayah (Kanwil) KLHK Sumut menelaah, melalui surat pertimbangan teknis yang menyatakan bahwa di areal tersebut sudah ditanami masyarakat berupa pohon kelapa sawit seluas 659 hektar.
"Tanpa mengindahkan poin-poin surat pertimbangan teknis tersebut, Pemkab Asahan langsung mengeluarkan izin HTR ke Koperasi Tani Mandiri melalui SK 438," katanya.
Hingga saat ini, pihak KLHK belum menetapkan areal HTR di Desa Perbangunan yang telah ditunjuk Bupati Asahan. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya sertifikasi dan HGU HTR dari KLHK kepada Koperasi Tani Mandiri.
Maka itu, Budiman menyimpulkan, Koperasi Tani Mandiri belum resmi dan belum terdaftar di KLHK sebagai pemegang izin HTR.
"Belum terdaftarnya Koperasi Tani Mandiri ini, informasinya saya dapat langsung dari KLHK. Lalu, KLHK tidak ada menentukan Desa perbangunan sebagai areal pencadangan HTR, sebagaimana peta lokasi yang selama ini diklaim oleh Koperasi Tani Mandiri," kata Budiman.
Yang terjadi saat ini, lanjut Budiman, adalah keputusan sepihak dari Pemkab Asahan tanpa melihat pertimbangan teknis dan kondisi ril di lokasi. Areal HTR yang telah ditentukan seharusnya mengantongi sertifikasi dan luasan HGU.
"Akibat keputusan sepihak dari Pemkab Asahan yang menunjuk Desa Perbangunan sebagai areal HTR dan izin diberikan kepada Koperasi Tani Mandiri yang bukan merupakan pemilik lahan, maka timbullah konflik horizontal sampai sekarang," pungkasnya. (Rls)