ASAHAN (Kliik.id) - Sudah 6 tahun, konflik antara masyarakat petani sawit dengan 'Mafia Tanah' di Desa Perbangunan, Kecamatan Sei Kepayang, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara (Sumut), belum selesai.
Sejak tahun 2015, ratusan masyarakat pemilik lahan dengan total seluas 400 hektar lebih mengalami pengancaman dan intimidasi oleh sekelompok orang suruhan yang diduga dikoordinir oleh oknum bernama Wahyudi melalui Koperasi Tani Mandiri.
Bahkan, sawit yang telah dipanen masyarakat, langsung dirampok oleh kelompok Wahyudi cs.
Akibat tanahnya diserobot, selama bertahun-tahun penghasilan masyarakat hilang. Mereka tidak dapat memanen di lahannya sendiri, lantaran kerap diancam. Bahkan, ada yang sampai anaknya putus sekolah dan kuliah karena tidak sanggup membayar uang administrasi.
Selama 6 tahun ini, kelompok Wahyudi melalui Koperasi Tani Mandiri dengan santainya memanen hasil tanaman yang telah ditanami masyarakat.
Kejadian tersebut telah dilaporkan oleh masyarakat ke Polsek Sei Kepayang dan Polres Asahan, namun belum ada satupun laporan yang berjalan.
Sejak kejadian pertama hingga sekarang, sedikitnya sudah 5 kali pergantian Kapolres Asahan. Tapi, tetap belum ada titik terang penyelesaian masalah.
Menurut investigasi Kliik.id, masyarakat telah menguasai lahan tersebut sejak tahun 1978 berdasarkan SK 44 Tahun 1978 dari Bupati Asahan saat itu, Abdul Manan Simatupang. Bupati melepas lahan tersebut untuk membantu ekonomi masyarakat.
Sejak itu, masyarakat turun menurun mengusahai lahan tersebut untuk memenuhi biaya kehidupan, termasuk menyekolahkan anak sampai tamat.
Namun, semua mata pencaharian masyarakat hilang sejak Koperasi Tani Mandiri masuk menguasai lahan dengan membawa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) dan Surat Keputusan (SK) Bupati Asahan Nomor 438 Tahun 2010.
Kenapa Bupati Asahan mengeluarkan SK baru, tanpa mencabut SK 44 Tahun 1978? Patut diduga, ada persekongkolan antara pihak penyerobot lahan dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Asahan, guna mencari keuntungan pribadi.
Sejak tahun 2015 hingga sekarang, berbagai upaya telah dilakukan masyarakat agar dapat mengambil haknya kembali. Namun, usaha selalu berakhir sia-sia. Ketua Koperasi Tani Mandiri, Wahyudi, masih enak berkeliaran tanpa tersentuh hukum. Padahal, anggotanya kerap mengancam masyarakat dengan senjata tajam.
Pemkab Asahan selaku penguasa di daerah juga terkesan tutup mata dengan adanya konflik di daerahnya.
"Awalnya, cara mereka (preman) meneror adalah dengan cara menjarah dan merampok pada saat kami sedang panen buah sawit. Mereka secara tidak langsung memaksa agar dapat menguasai kebun kami," ujar salah seorang masyarakat petani, Budiman Nainggolan, Sabtu (30/10/2021).
Budiman mengatakan, selama ini ratusan hektar lahan sawit milik masyarakat dikuasai dan dipanen oleh para preman, padahal masyarakat mengantongi surat tanah dari pemerintah setempat.
"Kami yang menanam sawit tersebut. Tidak ada hak para preman itu untuk menguasai dan memanennya," katanya.
Budiman berharap kepada Pemkab Asahan agar mencabut SK Nomor 438 Tahun 2010 yang dinilai menyebabkan konflik terjadi.
"Atas dasar SK 438 Tahun 2010, kelompok Wahyudi menguasai lahan masyarakat. Kami desak agar Pemkab Asahan mencabut SK tersebut," tegasnya.
Untuk tindakan kriminalnya, Budiman berharap Polres Asahan segera menindaklanjuti laporan yang telah masuk.
"Segera tangkap oknum-oknum preman yang telah mengintimidasi, mengancam dan menjarah buah sawit milik masyarakat," katanya.
Untuk menyuarakan aspirasi, sebelumnya ratusan masyarakat pemilik lahan melakukan aksi demo di Kantor Bupati Asahan, Kamis (28/10/2021).
Diadvokasi oleh DPC Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) Asahan, ratusan massa mendesak Bupati Asahan saat ini, H Surya, agar mencabut SK 438 Tahun 2010 yang telah menyengsarakan masyarakat Desa Perbangunan.
"Tolong kami Pak Bupati, tolong dengarkan kami. Berapa hektar ditebang sawit saya. Ini bukan sandiwara, saya alami intimidasi di lapangan. Tolong Pak Bupati," ujar salah satu masyarakat, Remi Br Sinurat sambil menangis dalam aksi tersebut.
Koordinator Aksi, Atong Sigalingging mendesak Bupati Asahan mencabut SK 438 tahun 2010 yang menyebabkan konflik di Desa Perbangunan.
Sebelum adanya Koperasi Tani Mandiri, warga yang menanami tanah tersebut merasakan bagaimana sulitnya membuka lahan di Desa Perbangunan sejak dilepas pada tahun 1978 dengan SK 44 Tahun 1978 yang di saat itu Bupati masih dijabat oleh Abdul Manan Simatupang.
"Sekarang, Koperasi Tani Mandiri yang dipimpin Wahyudi tinggal merampas lahan dan tanaman milik warga. Padahal, SK 44 Tahun 1978 belum dicabut," kata Atong disambut teriakan 'Tangkap Wahyudi'.
Atong melanjutkan, warga juga dihadapkan dengan sekelompok preman yang diduga dibayar oleh Koperasi Tani Mandiri untuk menakut-nakuti warga.
"Kami disana selalu dihadapkan dengan preman yang diduga bayaran. Warga ditakut-takuti, diancam sehingga tidak dapat memanen," ujarnya.
Selain itu, rumah warga juga sempat dibakar, lahan dan tanaman warga dirusak cara disinso. Hal itu dirasakan oleh warga Desa Perbangunan selama 6 tahun sejak 2015, dikarenakan adanya pembiaran dari Pemkab Asahan.
"Kami menduga adanya pembiaran dari Pemerintah Kabupaten Asahan mengenai konflik yang terjadi selama ini," jelasnya.
Selama dikeluarkannya SK 438 tahun 2010 tersebut, konflik terus terjadi di Desa Perbangunan.
"Konflik ini terjadi dikarenakan Pemerintah Kabupaten Asahan mengeluarkan SK 438 tahun 2010," tegasnya.
"Kedatangan kami kesini untuk meminta Bupati Asahan mencabut SK 438 tahun 2010. Kembalikan tanah dan tanaman warga Desa Perbangunan yang telah dirampas. Kami meminta Pemkab Asahan agar mengganti rugi material dan immaterial warga yang tertindas selama 6 tahun," pungkasnya.
Usai perjuangan selama 6 tahun, masyarakat berharap Pemkab Asahan dan Polres Asahan saat ini dapat lebih terbuka. Apalagi kini 2 institusi paling berwenang dalam kasus ini sudah dipimpin wajah baru dari awal munculnya konflik. Bupati kini dijabat H Surya dan Kapolres Asahan dijabat AKBP Putu Yudha Prawira. (Redaksi)