Notification

×

Hari ke-9 Imlek, Etnis Tionghoa Sembahyang Thi Kong, Ini Ritual dan Maknanya

Sabtu, 20 Februari 2021 | 00:45 WIB Last Updated 2021-02-19T17:46:21Z
Suku Tionghoa di Kota Tebingtinggi, Sumatera Utara melaksanakan ritual sembahyang hari ke-9 (Che Kau) Imlek 2021.
TEBINGTINGGI (Kliik.id) - Mayoritas etnis Tionghoa khususnya di Kota Tebingtinggi, Sumatera Utara pada hari ke-9 (Che Kau) setelah perayaan Imlek kembali merayakan Tahun Baru.

Perayaan ini dilakukan dengan ritual Sembahyang Tebu bagi Tionghoa bersuku Hokkien. Namun, bagi yang di luar suku Hokkien tidak memakai tebu. Bagaimana aktivitasnya?

Pada dasarnya, tahun baru Imlek dirayakan pada 12 Februari 2021 kemarin. Namun, perayaan Imlek ini menurut tradisinya akan berlangsung hingga 15 hari, yang berarti baru berakhir pada 26 Februari mendatang.

Awal tahun baru Imlek disebut Che It, sedangkan pada hari terakhir perayaan disebut Cap Go Meh. Nah, di tengah-tengah perayaan di awal dan akhir ada pula ritual yang dinamakan Sembahyang Tebu.

Ritual ini dilaksanakan pada hari ke-9 (Che Kau) setelah hari pertama perayaan Imlek (Che It). Itu berarti jatuh pada 20 Februari dan uniknya seperti perayaan tahun baru, Sembahyang Tebu ini juga dilakukan pada tepat pergantian hari, yakni pada pukul 00.00 WIB.

Salah satu warga Etnis Tionghoa Khorianto Elvi menceritakan, awal terjadinya Sembahyang Tebu ini hingga menjadi tradisi di suku Hokkian, bermula pada satu kisah di China yang melibatkan suku Hokkian berperang dengan suku lainnya.

Pada pertempuran itu, akhirnya Suku Hokkian kalah dan melarikan diri kedalam hutan. Di tengah persembunyian, mereka melihat bulan, yang berarti sudah tiba waktu Imlek. Meski masih dalam kondisi bersembunyi dari perang, mereka tetap ingin merayakan Imlek.

Karena itu, mereka mencari buah-buahan sebagai syarat melakukan sembahyang kepada leluhur. Namun, di tengah hutan itu, mereka tidak menemukan buah-buahan yang pantas.

Sekian lama mencari, akhirnya mereka menemukan tebu dan tebu ini yang dijadikan syarat untuk sembahyang terhadap leluhur.

Dari kisah itu, akhirnya tradisi Sembahyang Tebu terus jadi satu ritual atau tradisi yang dipelihara dan dilakukan oleh suku Hokkian hingga saat ini.

"Kisah ini bukan dongeng, dan memang terjadi di masa lalu. Dan itu juga menjadi perayaan Imlek pertama bagi Suku Hokkien," ungkap Elvi, Sabtu (20/2/2021) pukul 00.05 WIB.

Menurutnya, sembahyang yang dilakukan di tengah-tengah perayaan tahun baru Imlek ini merupakan bentuk penghormatan kepada dewa langit (Thi Kong).

"Tentunya dengan menimbulkan harapan ke arah yang lebih baik, serta kemakmuran dalam perjalanan hidup hingga akhir hayat," ucapnya.

Dalam ritual ini, disediakan panganan dan buah-buahan yang diletakkan di atas meja di depan rumah, hingga mengumpul dan menumpukkan kertas-kertas yang diyakini sebagai uang untuk dibakar. Serta menghidupkan lilin serta dupa baik yang kecil dan besar. 

Untuk membakar kertas-kertas uang yang diyakini sebagai bekal nanti di alam baka tersebut, baru bisa dilakukan setelah lilin sudah terbakar setengahnya.

"Ini sudah menjadi tradisi, lilin harus sudah terbakar setengah baru kita bisa membakar uangnya. Kalau kami hanya sembahyang biasa aja, tidak memakai tebu," imbuh Elvi yang mengaku suku Tiociu ini.

Setelah ritual ini, ada harapan dari masing-masing keluarga suku Tionghoa agar bisa lebih makmur menjalani tahun-tahun berikutnya.

Apalagi tahun ini di masa pandemi Covid-19, suku Tionghoa yang menjalani ritual ini berhadap pandemi cepat berakhir.

"Kita juga mendoakan kepada Thi Kong (dewa langit, red) semoga pandemi cepat berakhir," kata Elvi. (Rls)
×
Berita Terbaru Update